Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah masuk ke dalam rencana strategis. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Untuk diketahui, pada 2017 merupakan pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang.
Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur Indonesia (periode 2013-2018) Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan langsung RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta.
Respons Presiden Jokowi dikabarkan kala itu menyambut baik dan siap untuk dibicarkan oleh para legislator atau dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sayangnya, sampai sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Perubahan harga rupiah ini pernah dijelaskan lengkap dalam kajian Bank Indonesia (BI). Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nol-nya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).
Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara yang berhasil melakukannya.
Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan redenominasi menuntut stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal.
Asal tahu saja, pada 2010, Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah pernah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Pada tahap pertama, yaitu pada 2010, BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara.
Tahap kedua, tepatnya pada 2011-2012 merupakan masa sosialisasi. Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang.
Ini dia penampakannya :
Kemudian pada tahap keempat atau tepatnya 2016-2018, BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.
Pada tahun 2019-2020, merupakan tahap kelima sebagai tahap terakhir, keterangan baru dalam uang cetakan baru akan dihilangkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.
Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200706121549-4-170474/ini-lho-penampakan-uang-redenominasi-rp-1000-jadi-rp-1
Untuk diketahui, pada 2017 merupakan pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang.
Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur Indonesia (periode 2013-2018) Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan langsung RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta.
Respons Presiden Jokowi dikabarkan kala itu menyambut baik dan siap untuk dibicarkan oleh para legislator atau dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sayangnya, sampai sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Perubahan harga rupiah ini pernah dijelaskan lengkap dalam kajian Bank Indonesia (BI). Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nol-nya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).
Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara yang berhasil melakukannya.
Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan redenominasi menuntut stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal.
Asal tahu saja, pada 2010, Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah pernah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Pada tahap pertama, yaitu pada 2010, BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara.
Tahap kedua, tepatnya pada 2011-2012 merupakan masa sosialisasi. Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang.
Ini dia penampakannya :
Kemudian pada tahap keempat atau tepatnya 2016-2018, BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.
Pada tahun 2019-2020, merupakan tahap kelima sebagai tahap terakhir, keterangan baru dalam uang cetakan baru akan dihilangkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.
Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200706121549-4-170474/ini-lho-penampakan-uang-redenominasi-rp-1000-jadi-rp-1
0 Response to "Ini Lho Penampakan Uang Redenominasi Rp 1.000 Jadi Rp 1"
Post a Comment